Senin, 12 Oktober 2020

Ancaman Punahnya Bahasa Daerah Abui Alor



"Eyala he a mei?" tanya Paman ketika melihat saya duduk di bawah gudang bersama sanak keluarga yang lain.
"Ya," jawab saya menggunakan bahasa Indonesia dengan perasaan canggung.

Paman baru saja pulang berburu rusa yang nyasar di dalam Kampung. Ia lalu duduk di bawah gudang dan kami berbicara tentang banyak hal. Salah satunya ialah tentang bahasa daerah.



Saya mengeluhkan tentang mulai adanya jarak antara saya dengan bahasa daerah. Saya mulai menjadi penutur pasif_yang sangat pasif.

Saya hanya mengerti bahasa daerah namun sulit untuk berbicara secara aktif. Ini sudah terjadi di zaman saya. Entah bagaimana nanti di zaman anak-anak saya.

Seorang ponakan yang duduk dekat kami ikut menyela. Ia bercerita tentang kondisi berbahasa di SMP tempatnya bersekolah.

Ponakan bercerita bahwa anak-anak dari Mataru lebih mencintai bahasa daerah dibanding anak-anak seputaran Mainang, katanya.


Anak-anak dari Mataru hampir selalu menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan saat jam istirahat di sekolah, dalam perbincangan dengan sesama teman, mereka menggunakan bahasa daerah.

Dia juga menilai bahwa ada temannya yang merasa rendah diri ketika berbicara bahasa daerah. Temannya itu merasa lebih tinggi derajatnya ketika berbicara bahasa Indonesia.

Timbul pertanyaan dalam benak saya. Apakah pilihan berbahasa mesti menunjukkan derajat? Apakah berbahasa daerah berarti kita adalah orang kampung? Apakah kampung mesti dipandang rendah dibandingkan kota?

Sebagai guru di sekolah, menurut saya, akan berdosa kepada leluhur ketika melarang penggunaan bahasa daerah di sekolah. Anak-anak sejak kecil yang harusnya dekat dengan bahasa Ibu, dipaksa keluar untuk terpisah dari bahasa ibunya sendiri. Bagi saya itu adalah proses alienasi seseorang dari jati dirinya sendiri.


Saya secara pribadi tidak akan lagi melarang murid berbicara berbahasa daerah di sekolah. Nasionalisasi tidak harus memisahkan orang dari jati dirinya sebagai pewaris bahasa daerah, bahasa ibunya.

Saya berencana membuat channel YouTube budaya lalu merekam pembicaraan bahasa daerah yang mungkin kelak menjadi museum bahasa daerah secara audio visual. Saya juga berencana membuat buku kamus sederhana untuk bahasa ibu saya.

Sekian.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Baca tentang minat bapak sebagai guru untuk mendukung bahasa daerah, kami sangat terharu. Ada teman-teman yang juga bangga bahasa daerah di NTT. Khusus untuk bahasa Abui, ada kamus kecil di website kami yang bisa download gratis. Semoga menolong.

http://ubb.or.id/bahasa-kamus/

Semangat terus!