Jumat, 23 Juli 2021

Upaya Bersama Pemberantasan Korupsi


Oleh : Krismanto Atamou
Alumni SAKTI Guru 2019 oleh ICW 

 


 
Korupsi di negeri ini bukanlah masalah baru. Upaya mengatasinya pun sudah lama dilakukan, bahkan sejak masa presiden pertama Indonesia Ir. Sukarno. Namun sebagaimana kata penyair Chairil Anwar dalam penggalan salah satu larik puisi “Karawang-Bekasi” : kerja belum selesai. Masalah korupsi seolah tidak pernah selesai di republik ini.  
Menurut data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penanganan kasus korupsi meningkat tajam di tahun 2018, lalu  melandai hingga tahun 2021 (kpk.go.id per 08 Mei 2021). Data ini dapat dibaca pada dua hal. Pertama: kinerja KPK yang sedang menurun untuk menangani kasus korupsi. Kedua (yang diharapkan) yaitu saat ini kasus korupsi jarang terjadi sehingga menyebabkan berkurangnya jumlah kasus yang ditangani KPK.  
Di lain pihak Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) di tiga tahun terakhir hingga saat ini (2021) mengalami peningkatan. IPAK di tahun 2021 ini mencapai angka 3,88 dari skala 0 – 5. Semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa perilaku masyarakat semakin anti terhadap korupsi. Sebaliknya, semakin mendekati nol menunjukkan bahwa masyarakat semakin permisif terhadap korupsi.  
Jika data dari BPS tersebut dihubungkan dengan data dari KPK tadi, maka kita akan mendapatkan korelasi positif. Bahwa peningkatan IPAK saat ini mengakibatkan jumlah kasus korupsi menurun. Meski data-data ini cukup menggembirakan, bukan berarti bahwa upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak lagi diperlukan.  
 
 Gerakan Bersama Anti Korupsi
Baru-baru ini Indonesia Corruption Watch (ICW) bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Kota Kupang untuk menggelar Sekolah Anti Korupsi (SAKTI) kepada kalangan jurnalis. Sebanyak 26 peserta jurnalis media cetak dan elektronik di Kota Kupang, Kabupaten TTU, Kabupaten Rote Ndao, serta perwakilan mahasiswa Undana Kupang (Victory News, 16/7/2021).
Peran jurnalis dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi mengingatkan penulis pada film berjudul “Ism”. “Ism” adalah sebuah film India produksi Nandamuri Kalyan Ram tahun 2016. Film ini menceritakan peran wartawan yang berani mengungkap kasus korupsi skala nasional. Keberadaan sang jurnalis sangat mengusik “perselingkuhan” antara mafia perbankan, politikus, birokrat, dan aparat penegak hukum. Sang jurnalis kemudian dicintai oleh rakyat banyak, namun dimusuhi oleh penguasa korup.  
Sebagaimana cerita film “Ism”, tak pelak dalam kehidupan nyata, jurnalis pun mengalami hal yang sama. Memberitakan kejahatan korupsi dan tidak disukai penguasa korup. Meski begitu, demi kemaslahatan bersama, gerakan antikorupsi tidak boleh berhenti. Sebagai alumni Sakti Guru 2019, penulis mengapresiasi ICW dan AJI Kota Kupang yang turut berperan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan sporadis dan sektoral. Sebagaimana kasus korupsi yang cenderung terjadi merata di seluruh lini kehidupan (masif), pencegahan dan pemberantasannya pun perlu gerakan kolaboratif serta berkesinambungan. Oleh karena itu, upaya ICW dan AJI Kota Kupang mesti dilihat sebagai upaya kolaboratif untuk menumbuhkan, menjaga, dan mengupayakan gerakan anti korupsi.
Sebagai insan media, jurnalis memegang peranan penting dalam memberitakan kasus korupsi dan berbagai upaya pencegahannya, terutama kasus korupsi pada sektor pelayanan publik. Sektor ini menurut Bambang Widjojanto, mantan pimpinan KPK, kerapkali membuka celah terjadinya korupsi karena kebijakan yang longgar dan menguntungkan para pembuat kebijakan dan mengakibatkan kemiskinan yang semakin tinggi (VN, 16/7/2021).  
Sebagai pelanggan, penulis mengapresiasi VN yang kerap memberitakan berbagai kasus korupsi dan upaya pencegahannya di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Beberapa bulan belakangan VN memberitakan upaya penegakan hukum terhadap kasus korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri (Kajari) Timor Tengah Utara (TTU). Di bawah kepemimpinan Roberth Jimmy Lambila, Kajari TTU banyak menerima laporan masyarakat terkait dugaan korupsi dana desa. Selain itu, VN juga memberitakan dugaan pungutan liar hingga penggelapan dana beasiswa Program Indonesia Pintar (PIP) dari beberapa sekolah di NTT yang sudah dilaporkan kepada aparat penegak hukum. Dari berbagai pemberitaan ini dapat dilihat bahwa partisipasi masyarakat (penerima manfaat layanan publik) untuk mengungkap atau melaporkan kasus korupsi mulai meningkat.
Saat mengikuti kegiatan SAKTI Guru di Jakarta 2019 lalu, tim ICW membawa penulis dan sekira 25 rekan guru lain menemui pimpinan KPK di gedung Merah-Putih. Saat itu penulis menyampaikan aspirasi agar di seluruh ruang kerja pejabat publik dipasang kamera pengawas milik KPK demi memantau kinerja pejabat publik. Jawaban dari Pak Alexander Marwata, pimpinan KPK yang menemui kami kala itu bahwa KPK lebih mempercayai masyarakat sebagai mata dan telinga KPK untuk mengawasi pelayanan publik dan mengungkap kasus korupsi.  
Menanggapi jawaban beliau, penulis menyampaikan bahwa ada banyak kasus korupsi yang tidak berani diungkap masyarakat karena pelapor takut dikriminalisasi. Jika pelapor adalah ASN, ada kemungkinan besar ia takut dimutasi ke tempat sulit, dimasukkan ke daftar hitam, dan dihambat promosi jabatannya. Pak Alexander Marwata menjawab bahwa untuk laporan ke KPK, pelapor dijamin kerahasiaan identitasnya. Selain secara offline, setiap warga negara dapat melapor dugaan tindak pidana korupsi secara online ke KPK melalui link kws.kpk.go.id.  
Dengan kemudahan pelaporan seperti ini, apalagi didukung upaya kolaboratif semua pihak dan keberanian untuk mengungkap kasus korupsi (delik aduan), celah-celah kebocoran uang negara yang selama ini dinikmati oleh koruptor dapat ditutup. Uang negara dapat dipakai semata-mata bagi kemakmuran rakyat.


Tidak ada komentar: