Rabu, 28 Juli 2021

Pendidikan Karakter Tanpa Kekerasan

Krismanto Atamou
Guru di Kabupaten Kupang

Kasus kekerasan ternyata belum juga sirna dari dunia pendidikan Indonesia. Kali ini kekerasan secara verbal terjadi di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Deo Gloriam Wanno Muttu, Desa Lagalete, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya. Seorang siswa baru di-bully dalam Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) dan viral di media sosial beberapa hari belakangan ini (Victory News, 16/7/2021).

Alasan pembentukan karakter sayangnya pada beberapa kasus justru dipakai untuk melangsungkan praktek kekerasan. Padahal, apapun bentuknya (secara fisik atau non fisik) kekerasan telah dilarang terjadi di dunia pendidikan. Larangan ini tertera dalam Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Pendidikan Karakter

Untuk mengantisipasi praktik kekerasan di dunia pendidikan, pemerintah juga telah mengupayakannya penguatan karakter generasi muda melalui Permendikbud RI No. 20 tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Pada pasal dua, nilai-nilai pendidikan karakter yang diupayakan tersebut antara lain yaitu nilai religius, jujur, toleran, disiplin, semangat kebangsaan, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab.

Tiap nilai karakter ini tentu tidak dapat dikembangkan secara cepat dan segera (instant) dalam diri anak karena harus melewati suatu proses yang panjang, cermat, dan sistemik. Untuk itulah pendidikan karakter seyogyanya sudah dimulai sejak anak usia dini. Dalam rangka itu, psikolog Kohlberg dan pakar pendidikan Marlene Lockheed mengemukakan empat tahap pendidikan karakter yang perlu dilakukan. Pertama ialah tahap “pembiasaan” sebagai awal perkembangan karakter anak. Di rumah anak dibiasakan untuk melakukan karakter yang baik dan benar sesuai adat kebiasaan atau hukum yang berlaku.

Kedua ialah tahap pemahaman dan penalaran terhadap nilai, sikap, perilaku dan karakter anak.  Ketiga tahap penerapan berbagai perilaku dan tindakan anak dalam kenyataan sehari-hari. Keempat ialah tahap pemaknaan yaitu suatu tahap refleksi anak melalui penilaian terhadap seluruh sikap dan perilaku yang telah mereka pahami dan lakukan. Dalam melaksanakan nilai karakter, tentu sebagai manusia yang tak sempurna, ada saja kekurangan. Nah, kekurangan tersebut sebaiknya direfleksikan untuk diperbaiki pada kesempatan selanjutnya.

Jika keempat tahap ini telah dilalui, maka pengaruh pendidikan terhadap pembentukan karakter peserta didik akan berdampak secara berkelanjutan (sustainable). Hal ini senyawa dengan Permendikbud RI No. 20 tahun 2018 pasal empat ayat tiga yang menyebutkan bahwa muatan karakter diimplementasikan melalui kurikulum dan pembiasaan pada satuan pendidikan.

Sinergi antara Orang Tua dan Guru

Dalam Permendikbud RI No. 20 tahun 2018 pasal lima yang menyebut bahwa selain peran sekolah, peran orang tua atau wali dan peran masyarakat juga sangat diharapkan. Kala pandemi seperti sekarang, praktis orang tua lebih banyak berperan dalam pendidikan nilai karakter anak. Meski peran orang tua akan lebih banyak diperlukan karena sehari-hari anak berada di rumah, peran guru tidak bisa diabaikan. Diperlukan kerja sama antara guru dan orang tua/ wali anak didik agar anak tetap didukung dan diarahkan mencapai nilai karakter yang diharapkan.

Semisal guru meminta anak didik untuk membuat tugas yang menghasilkan produk tertentu sesuai tingkat perkembangan anak didik. Pada nilai karakter peduli lingkungan misalnya, guru meminta anak didik memilih salah satu bentuk produk yang sesuai kemampuannya. Produk tersebut bisa berupa puisi, cerita pendek, video, animasi, rekaman, lagu, poster, lukisan, dan sebagainya yang menunjukkan bahwa ia telah peduli terhadap lingkungan.

Dengan demikian, pembelajaran nilai karakter peduli lingkungan tidak sebatas teori semata (learning to know), tetapi juga dilakukan dalam kehidupan anak didik (learning to do). Kemudian ketika karakter peduli lingkungan itu menginspirasi orang lain atau lingkungan sekitar tempat tinggal anak didik, maka sang anak telah berhasil membangun gerakan masyarakat peduli lingkungan (learning to live together).

Contoh lain misalnya pada nilai kedisiplinan dan peduli sosial, guru meminta anak untuk memberikan laporan tentang ketaatannya atau ketaatan anggota keluarganya dalam mematuhi protokol kesehatan. Pada nilai kesantunan dan tanggung jawab misalnya, guru meminta anak melaporkan tindakannya sehubungan dengan nilai tersebut melalui bentuk laporan yang mampu dibuatnya. Dengan begitu, anak dilatih, diarahkan, dan dibiasakan melakukan nilai-nilai yang diamanatkan Permendikbud RI No. 20 tahun 2018 tadi. Untuk memudahkan anak, guru bisa memberikan contoh laporan sebagai referensi, baik itu berupa teks naskah maupun berupa video.
Bagi anak yang berhasil melakukan nilai karakter yang baik dan benar, perlu diapresiasi. Dari guru, apresiasi tersebut bisa berupa capaian nilai, predikat, atau promosi. Sedangkan apresiasi dari orang tua dapat berupa hadiah yang dapat dipakai anak untuk mengembangkan bakatnya atau mendukung proses pendidikan selanjutnya.

Ketika pendidikan karakter (tanpa kekerasan) telah tertanam dalam diri anak secara baik maka kelak ia tidak akan mudah untuk melakukan kekerasan kepada pihak lain. Meski begitu, pengawasan dan perhatian dari orang tua, guru, dan masyarakat tetap selalu diperlukan untuk menjaga anak berada pada koridor nilai karakter yang benar. Sebagaimana kata Bapak Pendidikan Nasional Indonesia Ki Hadjar Dewantara bahwa setiap anak harus mendapat tuntunan agar bertambah baik budi pekertinya.


Tidak ada komentar: