Senin, 07 Juni 2021

Perempuan Papua dan Budayanya


Krismanto Atamou
Guru di Kabupaten Kupang, NTT
 



Panitia Besar Pekan Olahraga Nasional (PB PON) telah menunjuk Nagita Slavina menjadi duta PON XX Papua. Apapun pertimbangannya, penunjukkan ini telah menyinggung asas keterwakilan perempuan Papua dalam merepresentasikan budayanya sendiri. Selain itu, penunjukkan ini menguatkan penilaian bahwa ternyata perempuan Papua masih mendapatkan peran sampingan di antara semangat otonomi daerah. 


Polemik ini bermula dari protes komika Arie Kriting. Mengutip Kompas.com, Arie Kriting merasa bahwa duta PON XX Papua seharusnya direpresentasikan oleh perempuan yang memang berasal dari Papua. Ia berpendapat bahwa penunjukan Nagita Slavina sebagai duta PON XX Papua dapat mendorong terjadinya apropriasi budaya.
 
Apropriasi Budaya 

 
Apropriasi budaya merupakan perbuatan yang mengacu pada meminjam atau mencuri budaya dari kelompok minoritas untuk digunakan sebagai keuntungan pribadi (Jaja Grays). Sedangkan dalam dictionary.cambridge.org apropriasi budaya berarti tindakan mengambil atau menggunakan hal-hal dari budaya yang selain budaya dari orang itu sendiri. 


Dalam penunjukan Nagita Slavina sebagai duta PON XX Papua, tidak menutup kemungkinan terjadi apropriasi budaya Papua. Nagita Slavina mendapat keuntungan sebagai duta, sementara perempuan Papua yang budayanya direpresentasikan oleh Nagita Slavina akan dirugikan. Kesempatan perempuan Papua untuk merepresentasikan budayanya sendiri, terenggut oleh penunjukan Nagita Slavina.
 
Hegemoni Terhadap Perempuan Melanesia 


Mau tak mau, penunjukan Nagita Slavina sebagai duta PON XX Papua akan menyulut isu hegemoni. Penunjukan ini tidak hanya menghegemoni budaya Papua tetapi juga menghegemoni pemilik budaya Papua. Tidak hanya menghegemoni perempuan Papua, tetapi juga menghegemoni perempuan Melanesia atau perempuan Indonesia Timur pada umumnya. Hal ini patut disayangkan.

 
Penunjukkan Nagita Slavina seolah menguatkan gambaran kecantikan ideal masih didominasi oleh ciri kulit putih, rambut lurus, tubuh tinggi dan langsing, serta sifat feminim dalam pandangan patriarki. Dengan gambaran kecantikan yang seolah Standar Nasional Indonesia (SNI) ini, perempuan Melanesia dengan ciri sebaliknya tentu tidak akan masuk kategori.  


Hal-hal inilah yang mendorong sebagian perempuan Melanesia menjadi tidak percaya diri, malu, lalu melakukan rebonding (meluruskan) rambut untuk beradaptasi dengan standar kecantikan SNI tadi. Bahkan, dalam beberapa pandangan, meluruskan rambut dianggap sebagai kemajuan, sedangkan rambut yang tetap keriting dianggap terbelakang. Hal ini sangat tidak manusiawi dan tidak menghargai perbedaan sebagai anugerah Tuhan. 


Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas untuk Inklusi (GARAMIN) NTT via channel YouTube LetSS Talk baru saja melaksanakan diskusi online tentang gerakan perempuan dari Indonesia Timur. Pergumulan bersama yang diungkap dalam diskusi ini, salah satunya ialah perlunya dukungan pemerintah untuk menangani persoalan perempuan di Indonesia Timur, termasuk perempuan Papua. Untuk itu, dalam konteks PON XX Papua, pemerintah perlu melibatkan perempuan Papua sebagai tuan rumah event tersebut. Jangan sampai perempuan Papua menjadi penonton bagi pertunjukkan budayanya sendiri.

 
Meike Lusye Karolus menulis di platform magdalena.co (27/8/2019) dengan judul “Kami Perempuan Melanesia, Kami Ada, dan Kami Cantik”. Meike menulis bahwa persoalan rasialisme kepada orang Papua, yang mengerucut pada persoalan ras Melanesia, menjadi persoalan besar karena menodai semboyan negara kita, Bhineka Tunggal Ika. Perempuan Melanesia kerap digambarkan sebagai perempuan yang terbelakang. 


Padahal, perempuan Indonesia Timur bukanlah perempuan lemah dan tidak bisa berdaya. Ini stereotip yang keliru. Cora du Bois, antropolog Amerika, saat melakukan penelitian di Alor sekira tahun 1937 menyebut dalam bukunya “The People of Alor” bahwa perempuan Alor adalah sosok yang kuat. Penilaian ini berdasarkan pengamatannya terhadap perempuan Alor yang mampu melakukan pekerjaan laki-laki dan perempuan. Perempuan Alor lebih banyak melakukan pekerjaan dibanding laki-laki. Ini sebuah kondisi yang rata-rata dialami perempuan Indonesia Timur.

 
Tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan Indonesia Timur telah tampil secara nasional dan berprestasi dalam berbagai lini di bangsa ini. Sebut saja ada Nowela dan Marion Jola dalam industri seni, ada pejabat negara Yohana S. Yembise, bahkan sebelum negara Indonesia merdeka, telah ada Martha Christina Tiahahu sebagai pahlawan nasional.
 
Pemberdayaan 


Melihat potensi perempuan Indonesia Timur yang begitu besar, sudah saatnya mereka diberi ruang untuk lebih mengembangkan diri. Biarkan perempuan Indonesia Timur tampil sebagai pewaris dan tuan atas budayanya sendiri. Mengambil budaya yang telah melekat sebagai jati diri perempuan Indonesia Timur dan memberikan atau meminjamkannya kepada pihak lain tentu seolah mendiskreditkan pewarisnya.  


Bara diskriminasi rasial yang selama ini masih menyala dalam stereotip dan hegemoni terhadap perempuan Indonesia Timur perlu segera diakhiri. Perempuan Indonesia Timur perlu diberdayakan bagi Indonesia, apalagi bagi daerahnya sendiri.  
Di bawah payung ideologi Pancasila, seharusnya perempuan Indonesia Timur juga mendapat tempat dalam lakon-lakon kebangsaan. Terkhusus pada ajang PON XX Papua kali ini, semoga PB PON memberikan kesempatan juga kepada perempuan Papua untuk merepresentasikan budayanya sendiri.
 

Tidak ada komentar: