Rabu, 05 Agustus 2020

Cerpen: Sampah

Oleh : Krismanto Atamou

Sinar mentari pagi berupaya menyusup masuk di antara celah-celah pinus seakan pena Ilahi yang menari-nari memberi warna cerah pada bagian tajuk-tajuk pohon yang berhasil ditembusinya. Kicau burung perkutut belum lagi terdengar, hanya suara pipit yang mencicit dari sarang merindu induknya kembali membawa makanan.
Suhu udara masih dingin seiring angin dingin dan kering dari Australia. Begitu menurut siaran dari BMKG yang Jitro dengar dari radio tua peninggalan mendiang ayahnya. Meski dingin, ia terus bergerak mencari keringat dengan menggali keladi dan petatas. Siapa tahu wisatawan hari ini ada yang mau membeli seperti kemarin.
Untuk pembungkus jualannya, Jitro memesan tempat anyaman dari daun lontar yang dibuat masyarakat pesisir pantai. Selain menambah pemasukan ekonomi masyarakat pesisir, juga menghindari sampah plastik yang menjadi masalah global.
“Asap di dapur tak akan mengepul kalau kau berpangku tangan, Nak.” Nasihat mendiang ayahnya itu selalu dikenang meski sudah tak lagi didengarnya semenjak dua tahun lalu.
Ayah Jitro petani ladang tulen. Setiap musim tanam, ayahnya punya lebih dari dua kebun sekaligus. Hasil panen bisa menghidupi anggota keluarga selama tiga tahun mendatang. Jika ada keperluan mendadak, hasil panen dapat dijual untuk menutupinya. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, keuletan ayahnya kini menurun pada Jitro.
Jitro masih menggali petatas dan keladi di kebun dekat rumah ketika istrinya memanggil untuk menemani sang ibunda minum kopi dan rebusan singkong. “Sebentar!” teriak Jitro sembari berhati-hati mencabut umbi petatas yang merambat dan tumbuh tepat di bawah anakan pohon mahoni yang baru ditanamnya tiga bulan lalu.
Jika dulu Jitro hanya menghadapi gulma dan hama demi kesuburan tanamannya, kini ia harus menghadapi masalah baru. Kebunnya warisan ayahnya yang berada di tepi jalan menuju tempat ekowisata itu sering menjadi tempat sampah bagi para wisatawan. Sampah plastik menjadi masalah utama baru yang menutupi tanamannya.
Kening Jitro berkerut dan peluh bercucuran. Langkah kakinya berhenti di belakang rumah. Ia menaruh karung berisi petatas dan keladi serta karung berisi sampah plastik dekat pancuran air dari bambu. Setelah membersihkan diri ia menuju emperan.
Hawa kopi panas yang mengepul di pagi hari itu berupaya melawan sapuan kabut tipis yang tertiup angin pegunungan melewati emperan. Kokok ayam dari pohon jeruk di samping rumah mulai jarang terdengar.
“Ma, kenapa?” tanya Jitro setelah melihat sang ibunda menatap nanar pada kumpulan karung berisi sampah plastik hasil pengumpulannya. “Ayo, Ma, Mama minum kopi dulu,” lanjut Jitro setelah yakin ibunya tak akan menjawab, mungkin sedang merenungi sesuatu.
“Aku heran, Jit. Mereka yang datang kan pengagum alam, tapi kenapa mereka merusak alam dengan membuang sampah sembarangan?”
“Kalau itu Mama tanya saja pada para pedagang. Seharusnya mereka sediakan tempat sampah agar pembeli tidak buang sampah sembarangan. Kebetulan, Ma. Itu salah satu pedagang ada di sana.” Jitro menunjuk istrinya yang sedang berada di dapur tak jauh dari emperan. Ia memang suka usil mengorek-ngorek emosi dan perasaan istrinya. Senang melihat ekspresi istrinya kalau sedang marah. Tambah cantik dan bikin gemas, katanya.
Umpannya berhasil ditotok. Sang istri mengomelinya. “Kalau begitu jangan kau minum kopi itu. Kau tahu gula itu datangnya dari mana? Itu dari hasilku berjualan di kios kecil-kecilan kita di pintu masuk tempat wisata sana. Sudah baik aku mendukungmu bekerja mencari nafkah.”
Jitro puas. Ia memandangi istrinya lekat-lekat lalu menyeruput kopinya. “Hm ..., kopimu enak, sayang! Apalagi sambil melihat kau marah, wajahmu memerah, waduh cantiknya,” kata Jitro sambil terkekeh.
Sebuah kerikil kecil melayang menuju wajah Jitro, ia mengelak, tidak kena. Jitro tahu, itu lemparan sayang. Sejak pacaran juga sudah begitu. Jitro sering dilempar menggunakan biji pinus kering yang jatuh sepanjang jalan setapak, hadiah menggoda sang nona saat mereka beramai-ramai berjalan untuk menimba air. Saat itu hutan masih lebat nan asri. Bahkan rumput ilalang dipelihara demi bangunan rumah. Sekarang, hampir semua warga membangun rumah permanen. Ilalang, tali-temali hutan, dan ramuan rumah alami mulai dilupakan.
“Awas kena mama!” protes Jitro. “Tenang saja, Ma. Jangan marah-marah, nanti penyakit darah tinggi mama kambuh lagi. Itu malah memperparah masalah. Dulu aku juga emosi pada wisatawan yang buang sampah sembarangan. Aku pernah mengeluarkan makian pada mereka. Tapi, istriku yang cantik itu menegur bahwa makian adalah mengeluarkan kata-kata kotor, sampah dalam bahasa. Jangan. Emosional negatif bukan solusi,” kata Jitro pada sang ibunda sembari melirik istrinya. Sang istri membuang muka, menyembunyikan senyum sipu.
“Aku sudah sediakan tempat sampah. Di pintu masuk tempat wisata juga sudah ada tulisan besar-besar: Jangan Buang Sampah Sembarang! Ada juga tulisan sindiran: Bertahun-tahun sekolah tapi masih buang sampah sembarangan, sekolah buat apa saja? Tapi apa? Tidak ada pengaruhnya, bosku! Mungkin tulisan itu tidak dibaca. Mungkin tingkat literasi kita rendah. Mungkin sekolahnya gagal mengajari kebersihan. Mungkin pribadinya sudah begitu. Mungkin.” Sang istri menjelaskan panjang lebar.
“Pernyataan kamu seolah membela diri, istriku. Hehe ....” Jitro terkekeh untuk mendinginkan suasana. “Menurutku tergantung kita memandang masalah sebagai apa. Aku ingat kata teman pengusahaku dulu: masalah adalah peluang. Justru dengan masalah sampah ini, ada peluang yang timbul. Semisal menaikkan retribusi wisata untuk dana kebersihan, sampah didaur ulang lalu dijadikan souvenir, ekobrik, atau produk lain lalu dijual.
“Menurutku itu lebih baik daripada memaki-maki wisatawan pengotor lalu mengurangi minat calon wisatawan lain datang ke sini karena ketidakramahan kita. Keramahan adalah salah satu daya tarik dan pendukung wisata selain faktor lain.”
“Kau benar, Jitro. Tapi kita masyarakat di sini adalah petani dan peternak yang tidak pernah terlibat dalam industri kreatif untuk mengubah sampah menjadi bernilai jual. Jangan-jangan kau akan kecewa. Kau boleh bermimpi demikian. Namun bagaimana jika usaha yang kau rintis kemudian berhenti di tengah jalan? Bangkrut!” sang ibunda mewanti-wanti.
“Tenang, Ma. Aku akan berusaha sendiri dulu. Jika berhasil, pasti banyak orang akan tertarik dan ikut. Sebagian orang ingin mengambil hikmah keberhasilan dari orang lain sebelum ikutan. Orang akan mau mengikuti jika sudah melihat hasilnya.
“Itu sudah aku kumpuli botol-botol air mineral besar. Akan aku cuci, isi dengan sampah plastik lain menjadi ekobrik, lalu kubuat menjadi sofa, lalu kujual.”
“Aku siap bantu menjualnya, sayangku,” sela istri Jitro.
“Ah, nanti uangnya tak kau berikan padaku.”
“Ya, iyalah. Secara istri adalah bendahara rumah tangga. Uang suami, istri yang kelola. Begitu kan, ibunda?”
“Ya. benar.” Mendengar ibunda mendukungnya, sang istri tersenyum lebar, mengangkat alisnya tinggi-tinggi sembari memandangi Jitro. Senyum kemenangan.
“Mama jangan bela dia. Nanti kepalanya besar. Aku tak dihormatinya sebagai kepala rumah tangga.”
“Kau jangan berpikiran negatif, Jitro. Ia kelola uangmu, juga demi kamu. Coba kamu lihat isi rumah ini, sebagian besar dia yang beli. Ia berhasil menghemat keuangan keluarga dan tahu mana yang prioritas untuk dibeli. Kau harus berterima kasih padanya.”
“Ah, Mama. Sesama perempuan memang saling membela.”
Ternyata Jitro tidak sendiri dalam menangkap peluang sampah menjadi barang bernilai. Yusak temannya saat belajar di SMK dulu turut memulung sampah tempat wisata untuk didaur ulang. Alih-alih berkelahi memperebutkan sampah, keduanya bekerja sama untuk menciptakan produk yang berbeda, mencari peluang pasar, membuat badan hukum UKM, mencari modal pinjaman untuk mengembangkan usaha, bekerjasama dengan pemerintah dan pengelola tempat wisata. Bahkan sampah dari kota mereka impor ke desa untuk usaha daur ulang. Kini sampah mereka cari ibarat emas, bernilai bagi kehidupan.

Catatan : Cerpen ini adalah refleksi penulis menyikapi berbagai aksi protes pecinta lingkungan terhadap pengotoran kawasan ekowisata yang marak di media sosial akhir-akhir ini.

Tidak ada komentar: