Rabu, 24 Agustus 2022
Belajar dari Anak-anak
Minggu, 14 Agustus 2022
Bersih-bersih di Kemendikbudristek
Oleh : Krismanto Atamou
Sekelas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bisa salah cetak buku? Saya tidak habis pikir. Begitu reaksi saya tatkala merespon postingan teman facebook terkait buku yang viral akhir-akhir ini.
Buku yang viral itu adalah buku mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PKn) untuk SMP kelas tujuh. Penulisnya ialah Zaim Uchrowi dan Ruslinawati. Editornya ialah Sunan Hasan dan penyelia ialah Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Diterbitkan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan Basan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbudristek, cetakan pertama tahun 2021, dengan ISBN 978-602-244-312-4.
Hal yang disorot dari berbagai postingan di media sosial terkait buku ini ialah kesalahan fatal terkait Tuhan yang disembah oleh agama Kristen Protestan dan Katolik. Sang penulis buku ini menulis Ketritunggalan Tuhan yang tidak sesuai dengan ajaran agama Kristen Protestan maupun Katolik. Sangat fatal.
Protes terhadap buku ini datang dari berbagai kalangan. Tidak hanya guru-guru, tetapi juga rohaniawan, dan penulis. Tidak hanya yang beragama Kristen Protestan dan Katolik, tetapi juga dari agama lainnya.
Sebagai guru, saya sangat menyayangkan induk institusi pendidikan nasional ini. Entah bagaimana, istitusi semulia itu bisa diisi oleh oknum-oknum yang dapat memecah-belah bangsa lewan konten-konten tulisan yang sangat menyinggung agama tertentu.
Tidak seperti kasus Holywings dimana nama tokoh agama dipakai dalam iklan, dalam kasus buku pelajaran PKn ini jelas-jelas menyesatkan ajaran agama. Sesuatu yang keliru dan sesat. Dan sebagaimana komentar saya di awal tadi, saya tidak mengira kesalahan ini bisa terjadi, tapi sudah terjadi, dan kekeliruan soal konten Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) ini bukan baru sekali terjadi.
Meski kemudian Kemendikbudristek menarik peredaran buku tersebut dan merevisinya, bagaimana pun saya rasa para penulis buku dan pihak Kemendikbudristek mesti meminta maaf atas kesalahan tersebut. Dan bila perlu, oknum penulis yang tidak bertanggungjawab tersebut tidak dipakai lagi ke depannya.
Sudah cukup isu SARA berupaya merongrong keharmonisan berbangsa dan bernegara kita selama ini. Sayang sangat disayang, ketika Mendikbudristek sedang menggelorakan kurikulum merdeka untuk kemajuan pendidikan Indonesia, upayanya itu terganggu oleh oknum penulis yang saya duga tidak melakukan riset mendalam sebelum menulis.
Asas Kehati-hatian
Nova Nansie Tiwa, pemosting pertama kekeliruan buku ini di facebook akhirnya mendapatkan jawaban dari Kemendikbudristek. Ada empat poin jawaban Kemendikbudristek. Pertama, Kemendikbudristek mengapresiasi masukan, saran, dan koreksi untuk perbaikan berkelanjutan terkait buku pendidikan. Buku pendidikan yang diterbitkan Kemendikbudristek merupakan dokumen hidup yang senantiasa diperbaiki dan dimutakhirkan.
Dua, terkait konten dalam buku mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SMP kelas tujuh terbitan 2021, Pusat Perbukuan Kemendikbudristek tengah melakukan kajian dan menindaklanjuti dengan memperbaiki sesuai masukan yang diterima, khususnya mengenai penjelasan tentang Trinitas dalam agama Kristen Protestan dan Katolik.
Tiga, dalam proses melakukan perbaikan, Pusat Perbukuan Kemendikbudristek akan melibatkan pakar dari Konferensi Waligereja Indonesia dan Persatuan Gereja-gereja Indonesia. Buku yang beredar akan ditarik dan diganti dengan edisi revisi. Untuk versi cetak, Kemendikbudristek sudah menghentikan proses pencetakan versi lama, dan pencetakan selanjutnya akan menggunakan edisi revisi. Kemendikbudristek akan segera mengedarkan suplemen perbaikannya bagi yang sudah menerima buku.
Empat, Kemendikbudristek selalu terbuka untuk menerima masukan, koreksi, dan saran untuk memperbaiki kualitas buku-buku pendidikan. Masukan, koreksi, dan saran dapat dialamatkan kepada penulis atau melalui alamat surel buku@kemdikbud.go.id.
Kejadian buku PKn kelas tujuh yang viral ini ibarat nila setitik, rusak air sebelanga. Ulah satu dua penulis, seluruh Kemendikbudristek terimbas getahnya. Tini Pasrin pada postingan novelis Felix Nesi berkomentar: “Kementerian Riset yang tidak Riset.” Ini hanya salah satu komentar dari berbagai komentar lain di berbagai postingan yang saya ikuti. Beginilah hasilnya jika sekelas Kemendikbudristek kurang berhati-hati.
Untuk itu, saya kira Kemendikbudristek perlu menggunakan asas kehati-hatian dalam merilis produk apa pun, termasuk buku. Dan jika poin tiga dari jawaban Kemendikbudristek di atas telah dilakukan sebelumnya, saya kira hal seperti ini sedapat mungkin bisa dihindari.
Saya menduga bahwa oknum tertentu memanfaatkan disclaimer yang ada juga di laman awal setiap buku produk Kemendikbudristek. Disclaimer itu menyatakan: buku produk Kemendikbudristek merupakan dokumen hidup yang senantiasa diperbaiki dan dimutakhirkan sesuai dengan dinamika kebutuhan dan perubahan zaman. Dengan disclaimer ini, membuka peluang oknum nakal yang diduga sengaja menyalah-nyalahkan atau (lebih parah) menyimpangkan isi buku cetakan pertama untuk menguras keuangan negara demi proyek cetakan revisi, atau untuk kepentingan pribadi tertentu, atau untuk kepentingan dan tujuan golongan tertentu.
Untuk itu, Kemendikbudristek perlu mengambil tindakan tegas. Apalagi pada buku-buku yang menyinggung dan mengandung unsur SARA. Isu-isu ini sangat sensitif dan perlu penanganan sangat hati-hati. Oknum-oknum yang terbukti mengambil untung dari “celah disclaimer”, saya kira perlu “dibersihkan” dari tubuh Kemendikbudristek.
Bravo POLRI
Oleh: Krismanto Atamou
Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) saat sedang menghadapi masalah besar. Saking besarnya sehingga menjadi atensi publik, menjadi sorotan media dan para pengamat, bahkan mendapat respon dari Presiden Jokowi dan Menko Polhukam Mahfud MD.
Tidak main-main, kasus yang menewaskan Brigadir J. ini menyeret banyak oknum petinggi POLRI. Brigadir J. tewas diduga ditembak di rumah singgah Irjen Ferdy Sambo di kompleks POLRI, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (8/7/2022) sore. Diketahui, Brigadir J merupakan personel kepolisian yang ditugaskan sebagai sopir istri Ferdy Sambo (detik.com, 06/08/2022).
Beberapa hari belakangan ini, di beranda media sosial saya, berseliweran berita mengenai peristiwa tewasnya Brigadir J., juga viralnya Si Pesulap Merah. Namun peristiwa tewasnya Brigadir J. lebih mendominasi postingan teman-teman, tautan media online, reels, juga video-video YouTube. Bagaimana tidak, institusi dimana masyarakat menaruh harapan akan upaya penegakan hukum, justru sedang terjadi kasus hukum.
Pertaruhan
Melalui pengusutan kasus tewasnya Brigadir J., saya kira akan menjadi pertaruhan bagi nama baik, kredibilitas, dan profesionalitas institusi POLRI. Dan sebagai salah satu masyarakat Indonesia, saya sangat berharap POLRI dapat menyelesaikan kasus ini dengan baik dan benar. Bagaimana pun, institusi POLRI sangat dicintai oleh seluruh masyarakat Indonesia. Bukti kecintaan itulah yang disampaikan melalui perhatian yang lebih kepada institusi ini.
Beberapa saat lalu, Iqbal Aji Daryono, mentor menulis saya di Kelas Menulis Online menulis sebuah buku terkait kinerja POLRI. Buku tersebut berjudul: Berjuang di Sudut-sudut Tak Terliput. Menurutnya, buku yang tidak dijual untuk umum ini, isinya adalah dokumentasi kisah-kisah humanis Bapak Ibu personel POLRI yang bertugas di seluruh pelosok Indonesia. Bagaimana dalam kondisi sulit, jauh dari jangkauan liputan media, ternyata Bapak Ibu personel POLRI tetap menjalankan tugas secara humanis, bahkan berkorban bagi pelayanan kemanusiaan di masyarakat.
Meminjam diksi “sudut-sudut tak terliput” dari Iqbal Aji Daryono untuk menjudulkan buku dokumentasi kinerja personel Polisi di pelosok Indonesia, nampaknya kali ini, pada tubuh POLRI di Jakarta juga ada “sudut-sudut tak terliput” yang perlu “diliput” jika tidak berkaitan dengan rahasia tertentu yang perlu dijaga demi kepentingan bangsa dan negara. Tujuannya ialah untuk mengenal lebih dekat bagaimana anggota dan petinggi POLRI di Jakarta menjalankan amanat dalam bekerja bagi masyarakat, bangsa, dan Negara Indonesia.
Refleksi
Saya yakin, masyarakat Indonesia masih mencintai dan mempercayai institusi POLRI. Ini dibuktikan dengan banyaknya dukungan positif dari publik, khususnya dari pengguna media sosial Indonesia. Dukungan ini diberikan terutama setelah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menonaktifkan jabatan Brigjen Pol Hendra Kurniawan, Kombes Budhi Herdi Susianto, dan sebelumnya menonaktifkan Kadiv Propam POLRI Irjen Ferdy Sambo (Tribun-Medan.com, 20/07/2022).
Melihat apa yang dialami oleh beberapa petinggi POLRI kali ini, saya secara pribadi merasa sedih. Bahkan dalam angan, saya berharap kejadian seperti ini tidak terjadi. Saya membayangkan para petinggi POLRI, juga pejabat tinggi lainnya di negeri Indonesia ini adalah penerus Jenderal Besar Sudirman, yaitu mereka yang rela meninggalkan urusan dan kepentingan pribadi lalu memberi diri bagi bangsa dan Negara.
Gugur Bunga
Yonetha Reo Thong, teman facebook saya memosting ulang video dari akun YouTube VIVACOID pada 8 Agustus 2022, dengan tambahan latar suara lagu Gugur Bunga karya Ismail Marzuki. Dalam video itu Irjen Ferdy Sambo berbicara tentang keberadaan Divisi Propam POLRI.
Menghayati lagu Gugur Bunga karya Ismail Marzuki dalam keadaan seperti sekarang ini, saya kira, siapa pun warga negara Indonesia, apalagi aparat negara, akan merasa sedih. Pasalnya, kita mesti “kehilangan” prajurit dalam peristiwa yang viral belakangan ini.
Betapa hatiku
takkan pilu
Telah gugur pahlawanku
Betapa hatiku takkan sedih
Hamba ditinggal sendiri
Siapakah kini
pelipur lara
Nan setia dan perwira
Siapakah kini pahlawan hati
Pembela bangsa sejati
Telah gugur
pahlawanku
Tunai sudah janji bakti
Gugur satu tumbuh seribu
Tanah air jaya sakti
Jika dulu, para pahlawan gugur di medan pertempuran oleh senjata dan strategi musuh agar Indonesia merdeka, maka kini, para pahlawan (aparatur negara dan petinggi di negeri ini) mesti berhati-hati agar tidak “gugur” gegara urusan dan kepentingan yang menjauhkan diri dari menjalankan amanat yang telah diberikan oleh bangsa dan negara Indonesia.
Untuk itu, melalui peristiwa tewasnya Brigadir J., saya kira POLRI perlu berani berbenah, “mengintrospeksi diri”, bahkan berani “bersih-bersih” di tubuh POLRI. Hingga saat ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah melakukan langkah maju dalam menangani kasus ini. Langkah Kapolri ini perlu mendapatkan apresiasi dan dukungan penuh dari masyarakat untuk mengawal kasus ini.
Seiring pengusutan kasus ini, saya rasa POLRI perlu juga berefleksi untuk mengantisipasi terulangnya kasus serupa. Sebab sangat disayangkan bila ada aparat POLRI di negeri ini akhirnya mesti “gugur” gegara hal yang semestinya bisa dielakkan.
Meminjam diksi pada lagu Gugur Bunga karya Ismail Marzuki tadi, saya masih percaya bahwa aparat POLRI adalah pahlawan yang gagah perkasa dan pembela bangsa sejati. Bravo POLRI. Salam Presisi.
Minggu, 31 Juli 2022
Perang Atensi terhadap Reels
Oleh : Krismanto Atamou
Perlahan tapi pasti, beberapa musik atau lagu latar dari video-video singkat media sosial (reels) telah terinternalisasi dalam alam bawah sadar saya. Beberapa lagu itu misalnya: entah siapa yang salah …kutak tahu, hiduplah denganku duer … dengarkanlah, dan masih banyak lagi.
Terekamnya lagu-lagu itu di alam bawah sadar saya membuktikan: telah banyak waktu yang saya lewati untuk menonton reels. Saya kira, terkait hal ini, saya tidak sendiri. Bahkan seorang kerabat saya tidak tahu bahwa konten video itu adalah reels, padahal dia sudah lama menontonnya.
Sadar atau tidak, reels telah menghisap atensi kita dari berbagai hal lain yang perlu juga kita lakukan sehari-hari. Dee Lestari dalam podscad bersama Gita Wirjawan, memiliki istilah khusus untuk konten-konten media sosial seperti reels ini. Dee Lestari menyebutnya seolah “vampir” yang menghisap atensi kita.
Seorang teman menyebut reels sebagai cara membunuh waktu untuk segera tua. Bayangkan kita menonton reels di setiap waktu senggang atau waktu yang “disenggang-senggangkan”, tidak terasa, banyak waktu telah berlalu. Tanpa sadar, umur kita telah bertambah dan melaju begitu cepat.
Tere Liye dalam postingan facebook berjudul “Kita orang tua gagal?” mengkritisi orang tua yang sibuk bermain handphone. “Mending buka HP dulu ah, buka gadget, scroll, scroll, klik, klik. Menatap layar HP. Sibuk nih, banget, mana sempat sih ngurusin anak2,” tulisnya. Dapat dibayangkan, betapa banyak waktu yang semestinya dipakai orang tua untuk mengasuh anak, dirampas oleh media sosial, termasuk oleh reels.
Jika waktu pengasuhan orang tua terhadap anak tersita oleh atensi pada reels, jangan heran kemudian pertumbuhan sikap dan moral anak-anak terabaikan. Lalu muncullah berbagai kasus perundungan terhadap anak yang juga dilakukan oleh sesamanya. Semisal kasus yang menimpa korban anak F (11), siswa kelas V SD di Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Tragisnya anak itu mengalami depresi hingga meninggal dunia pada 18 Juli 2022 lalu.
Manajemen Waktu dan Jari
Saat ini, saya rasa kita sedang berada di medan perang atensi. Kita seolah sedang berperang antara hidup di dunia nyata atau di dunia maya. Hal yang sebenarnya bukan sebuah pilihan ganda untuk dipilih salah satunya. Di era digitalisasi, saya kira kedua dunia ini mesti berjalan beriringan dan saling melengkapi. PR besarnya ialah bagaimana mengatur atensi kita agar sedapat mungkin tidak ada yang dikorbankan.
Semisal dalam keluarga, orang tua tidak mengorbankan waktu pengasuhan anak demi kehidupan di dunia maya. Demikian juga anak, tidak mengorbankan waktu belajar, bersosialisasi, dan waktu berkualitasnya bersama keluarga demi bermain game atau aktivitas dunia maya lainnya. Apakah kita sanggup untuk itu? Saya kira sulit.
Saat tubuh kita sudah terpola untuk lekat dengan gawai dan berkehidupan maya, saat tangan kita sudah refleks untuk meraih gawai setiap sempat, saat kepala dan mata kita sudah refleks tertuju pada gawai daripada melihat kehidupan riil, lalu kita ingin mengubahnya karena sadar ada hal penting lain yang telah abai dari perhatian kita, itu pastinya tidak mudah.
Karena tidak mudah inilah, saya menggunakan kata “perang” untuk menggambarkan betapa sulitnya memenangkan perang atensi kita terhadap konten reels. Apalagi ketika media sosial selalu menawarkan hal-hal baru untuk melayani ketidakpuasan manusia. Format konten reels di facebook yang baru dirilis tahun 2022 ini ternyata diminati oleh banyak netizen.
Beberapa postingan teks panjang saya di facebook setelah seharian baru dilihat dua puluhan orang, tapi ketika saya membuat konten reels, baru beberapa jam sudah ditonton lebih dari 100 orang. Saya terkejut. Kok bisa secepat itu? Ya, mungkin karena rata-rata manusia cepat bosan dan menyukai hal-hal baru, terutama hal-hal yang diminatinya. Dan artifisial inteligensi facebook selalu tahu bahwa kita menyukai hal-hal tertentu itu. Bahkan terkadang, hal-hal yang baru saja kita pikirkan, eh rupa-rupanya sudah nongol di beranda media sosial kita.
Pertanyaannya: bagaimana kita lepas dari jeratan reels, lalu memenangkan perang atensi terhadapnya? Bagaimana tubuh dan pikiran kita dapat terus sadar lalu menghindari gerak refleks yang mengarahkan kita pada reels? Lalu, apakah reels adalah momok yang perlu kita hindari?
Saya kira jawabannya kembali kepada diri kita sendiri. Apakah benar-benar reels telah merampok waktu berkualitas kita? Apakah reels telah mengalahkan kita dalam perang atensi terhadap hal-hal lain yang lebih penting dalam hidup kita? Semisal waktu untuk membaca buku, menjalankan ibadah, bersosialisasi, belajar via internet, dan hal-hal positif lainnya?
Sampai di titik ini, saya duga akan ada pembaca yang menyanggah: bukankah di reels pun ada konten-konten mendidik? Ya, benar. Beberapa pembuat konten yang mendidik juga telah memosting konten-konten mereka di reels. Untuk itu, sebaiknya kita mampu menahan refleks jari, yang kemungkinan besar akan melewatkan perhatian kita dari konten-konten mendidik itu.
Kamis, 28 Juli 2022
Harga Komodo sebagai Keajaiban Dunia
Minggu, 24 Juli 2022
Memanfaatkan Teknologi Digital
Oleh: Krismanto Atamou
Dalam rapat dewan guru, komite sekolah, dan para orang tua murid hari Rabu, 20 Juli 2022 lalu di sekolah, Kepala Sekolah saya Dapa Ngailo, S.Pd menyampaikan bahwa kini sudah saatnya digitalisasi dunia pendidikan. Begitulah pada ujian semester kali lalu kami sudah menggunakan gawai untuk melaksanakan ujian.
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya dimana murid harus menggunakan kertas sebagai lembar jawaban, kali ini murid hanya mengisi data di laman awal mesin pencari di gawai, lalu tampil soal dan pilihan jawaban di aplikasi penilaian. Mudah dan cepat.
Kemajuan teknologi digital dalam dunia pendidikan dimana gawai menjadi alatnya, ternyata juga menyimpan resiko yang dikhawatirkan para orang tua dan guru. Dalam rapat Rabu lalu, teman guru matematika menyampaikan bahwa dari dua puluh lima nomor soal yang harus melalui proses cakar untuk mendapatkan jawaban, ternyata hanya sedikit murid yang mencakar. Hal ini kelihatan melalui lembaran kertas cakar yang dikumpulkan oleh sang guru matematika.
Ketika murid tidak mencakar dalam menjawab soal cakaran, setidaknya ada dua kemungkinan. Pertama, murid tersebut mampu mencakar dalam imajinasi atau pikirannya, tidak perlu menggunakan kertas dan bolpoin. Kedua, murid tersebut malas untuk mencakar karena pada dasarnya tidak suka dengan matematika, alhasil murid hanya menebak jawaban atau menjawab dengan membabi buta.
Untuk menguji murid manakah yang dominan dari kedua kemungkinan tadi, dapat diketahui lewat hasil ujian yang langsung dapat terlihat setelah murid selesai mengerjakan soal. Sayangnya, hanya sebagian kecil anak yang berhasil. Lagu lama terdengar kembali: matematika masih menjadi pelajaran yang menakutkan dan tidak disukai banyak murid.
Sebagai guru IPA yang sebagian besar materi berhubungan dengan matematika, saya pun terkadang harus mengulang pelajaran matematika bagi murid. Di titik ini, untuk meningkatkan motivasi dan daya serap murid terhadap pelajaran yang selama ini momok, perlu kerja sama orang guru dan orang tua. Guru tidak bisa berjalan sendiri.
Semisal di rumah anak dibiasakan dengan game-game matematika untuk anak yang bisa diinstal di gawai. Sebab bagaimana pun, kini sudah zamannya anak-anak menggunakan gawai, tapi dengan catatan ada batasan umur, ada durasi pemakaian, dan ada kontrol orang tua.
Bagaimanapun, informasi di internet tidak bisa dibendung. Daripada anak mencari tahu sendiri lalu tersesat, alangkah lebih baik anak dipersiapkan untuk menjalani era internet ini. Orang tua dan guru bermitra untuk menanamkan nilai-nilai luhur dalam hati dan pikiran anak sehingga anak punya “alat saring” informasi yang diterimanya di internet, termasuk membiasakan anak mengakses konten pembelajaran matematika agar kelak matematika tidak lagi menjadi momok.
Hari Anak Nasional
Dalam rangka Hari Anak Nasional yang jatuh pada tanggal 23 Juli 2022 ini, dari segi digitalisasi pendidikan, masih ada catatan panjang yang perlu diperhatikan. Pertama, bagaimana mendorong anak untuk menggunakan gawai secara efektif dan efisien untuk pendidikan.
Diketahui bahwa saat ini ada banyak aplikasi, platform, dan website yang dapat dipakai untuk kepentingan pendidikan anak. Namun pertanyaannya, seberapa besar gawai tersebut benar-benar dipakai untuk pendidikan? Jangan-jangan hanya dipakai untuk hiburan semata.
Kedua, memenangkan perang atensi demi tenang mengakses konten-konten mendidik di internet. Bahaya terbesar saat ini ialah kita mudah teralihkan dari konten pendidikan kepada konten hiburan, bahkan konten “beracun”. Misalnya saja sedang membaca buku di aplikasi perpustakaan digital I-pusnas lalu muncul notifikasi whatsapp, facebook, dan aplikasi lainnya.
Jika sudah terbiasa merespon notifikasi media sosial, maka biasanya jari kita seolah bergerak sendiri untuk membuka notifikasi-notifikasi tersebut. Di titik inilah perang atensi terjadi. Syukurlah beberapa gawai telah dilengkapi fitur ‘jangan ganggu’ yang jika diaktifkan maka segala notifikasi akan ‘diredam’.
Ketiga, pentingnya pendidikan bermedia sosial bagi anak. Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) dari Kementerian Komunikasi dan Informatika mengusulkan batasan usia untuk memiliki akun media sosial adalah 17 tahun. Mungkin karena belum disahkan, hingga kini anak di bawah 17 tahun ada yang sudah memiliki media sosial.
Bahkan jika RUU PDP ini disahkan, masih ada kemungkinan anak di bawah usia 17 tahun bisa memiliki media sosial dengan memanipulasi data, merengek meminjam gawai orang tuanya saat orang tua sedang berbicara dengan tamu, dan cara lainnya. Oleh karena itu, saya kira, alih-alih mengontrol anak dari luar dirinya, alangkah lebih baik fungsi kontrol itu ditanamkan di dalam hati dan pikiran anak. Caranya yaitu melalui pendidikan dan pembiasaan oleh orang tua maupun guru, tentu dengan memperhatikan batasan umur anak.
Bagi anak SMP di sekolah saya, beberapa kali kami menyampaikan kiat bermedia sosial yang benar, aman, dan positif. Semisal kiat menghindari konten hoax dan konten dewasa, kiat mengamankan akun media sosial, kiat berkomunikasi di media sosial dan mengakses konten positif yang mendidik.
Selamat Hari Anak Nasional.