Selasa, 08 Maret 2022

Menghadapi Gibah Terkait Covid-19

Oleh : Krismanto Atamou

Menyandang status sebagai pasien Covid-19 (C-19) tidak mudah bagi sebagian orang. Ini seolah memiliki aib atau sesuatu yang tabu. Pasalnya dalam posisi ini, pasien mesti menghadapi kenyataan dimana nama pasien menjadi buah bibir orang tertentu.
Informasi perihal orang tervonis positif C-19 begitu cepat menyebar. Itulah yang saya alami beberapa hari lalu. Siang itu saya berobat batu-pilek ke Puskesmas. Sebelum bertemu dokter, saya diminta tes swab antigen di laboratorium puskesmas. Hasilnya positif C-19. Setelah bertemu dokter dan mengambil obat, saya pulang. Sore harinya, cerita perihal status saya itu sudah menyebar luas di kompleks tempat tinggal saya dan akhirnya sampai juga ke telinga saya. “Wah, cepat juga mulutgram orang-orang,” saya kagum.

Mulutgram
Fenomena menyebarnya berita secara cepat via mulut dari satu orang ke orang lain saya sebut dengan istilah mulutgram. Bagi saya, fenomena mulutgram ada positifnya. Ini semacam kontrol sosial dalam masyarakat. Ketika seseorang mau berbuat sesuatu, ada pertimbangan: apa kata orang atau nanti orang bilang apa? Dan dalam hal pandemi C-19, dengan mulutgram otomatis melahirkan penanda keberadaan pasien C-19. Penandaan ini kemudian berfungsi melahirkan kewaspadaan untuk mencegah penularan C-19, membangun simpati dan empati kepada pasien C-19.
Di sisi lain, sayangnya mulutgram berita keberadaan pasien C-19 juga memiliki sisi negatif. Semisal nama pasien C-19 digibah lalu dikucilkan. Demi menghindari gibah dan bernasib miris seperti ini, beberapa orang malah takut ke fasilitas kesehatan (faskes) untuk berobat.
Ada banyak gibah terkait pandemic C-19, namun kali ini saya hanya menyebut beberapa. Satu, hasil tes positif itu dimanipulasi karena proses tes tidak dilakukan secara transparan.  
Dua, dana penanggulangan C-19 berpeluang diselewengkan. Semisal untuk semua pasien C-19 yang isolasi mandiri (isoman) di rumah, itu harusnya ada bantuan konsumsi dan keperluan lain selama isoman. Tapi hanya sebagian pemerintah desa atau kelurahan yang melakukannya, sedangkan yang lainnya tidak.
Tiga, ada permainan. Mana mungkin semua orang yang pergi ke faskes dipaksa tes swab dan semuanya positif? Orang dengan penyakit lain juga mereka vonis C-19. Ini yang bikin orang sakit trauma lalu tidak mau periksa ke faskes, takut terdeteksi C-19. Alhasil mereka berobat sendiri. Lihat saja di apotek-apotek, ada banyak orang membeli obat sendiri sampai antrean panjang.
Empat, alat tes C-19 perlu ditera ulang. Pasien dites antigen C-19 dengan alat test yang tidak valid sehingga hasilnya selalu positif. Jangan-jangan alat test malah mendeteksi vaksin yang telah diterima pasien sebelumnya dan membacanya sebagai positif C-19. Semua gibahan ini tentu perlu diklarifikasi.

Disclaimer
Saya tidak pada posisi yang bisa mengklarifikasi semua gibahan tadi. Namun berdasarkan pengalaman dan penelusuran referensi, saya ingin menyampaikan disclaimer terhadap gibahan tadi.
Satu, dokter dan petugas bagian lab yang melayani saya beberapa hari lalu memikul beban berat. Saat berbincang dengan mereka, saya merasakan kewaspadaan yang tinggi atas resiko pekerjaan mereka. Namun itu sudah menjadi konsekuensi pekerjaan sebagai tenaga kesehatan. Dan mereka telah mengambil sumpah jabatan untuk bekerja seprofesional mungkin. Tidak mungkin mereka bermain-main dengan keselamatan nyawa manusia. Meski dalam pelaksanaan, masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Semisal lambatnya hasil Swab PCR bayi 7 bulan yang meninggal di RSUD SK Lerik Sabtu lalu (Victory News, 7 Maret 2022).
Dua, semua alat yang dipakai di faskes telah melalui serangkaian ujian untuk mengetes  kelayakannya sebelum dilepas dari pabrik dan dipakai di faskes. Selain itu ada aturan yang mengontrol secara ketat prosedur pengadaan alat-alat kesehatan.
Tiga, penyelewengan dana penanganan C-19 kalau ada maka hanyalah ulah oknum. Pemerintah telah berupaya mengawal dana ini hingga terealisasi dengan baik. Ketika status saya positif C-19, pemerintah desa Kuimasi Kabupaten Kupang mengutus petugas untuk mengantarkan bantuan konsumsi dan beberapa perlengkapan. Bantuan kepada saya ini tentu berasal dari dana penanggulangan C-19 yang direalisasikan dengan baik.
Empat, tidak perlu takut berobat ke faskes. Penentuan status positif covid-19 melalui tes yang valid. Saya sendiri minggu sebelumnya dites hasilnya negatif. Kita perlu sportif untuk mengakui hasil tes positif sebagaimana saat hasilnya negatif.
Bagaimana pun, mencegah lebih baik dari pada mengobati. Oleh karena itu, jangan takut ke faskes dan tetap menjaga protokol kesehatan. Jika seseorang menyandang status positif C-19, bagi saya itu bukanlah aib yang memalukan dan perlu disembunyikan. Biarkan orang lain tahu lalu waspada, biarkan tenaga kesehatan dan aparat pemerintah (Satgas Covid-19) tahu agar memberi pelayanan yang baik. Sekian.  

Tidak ada komentar: