Minggu, 31 Mei 2020
Pancasila dan NTT
Mendengar kata Pancasila pikiran kita langsung tertuju pada dasar Negara Indonesia. Mungkin langsung juga teringat pada presiden pertama RI yaitu Bpk. Ir. Soekarno.
Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Itu kutipan terkenal dari pendiri bangsa kita yaitu Ir. Soekarno. Tentu sejarah yang tidak boleh dilupakan yaitu sejarah yang objektif paling tidak mendekati objektif, bukan versi tertentu.
Oleh karena itu mengingat Pancasila maka mengingat bagaimana Bapak Ir Soekarno bermenung di bawah sebuah pohon, di rumah pembuangan, di Ende NTT. Tentu itu suatu permenungan yang tidak main-main. Bapak Ir Soekarno berupaya merumuskan sebuah dasar negara dari berbagai nilai dan idealisme yang dipelajari dan diketahuinya.
Itulah sejarah singkat versi saya.
Nah, sisi lain yang ingin saya sampaikan disini ialah bahwa bukan suatu kebetulan Bapak Ir Soekarno bisa merumuskan kelahiran dasar negara di provinsi NTT. Tentu semesta pun tahu bahwa di NTT lah pantas Pancasila dirumuskan.
Alasannya menurut (analisa dan tebakan) saya ialah nilai-nilai Pancasila tersebut oleh Bapak Ir Soekarno ada pada keseharian orang NTT sehingga turut mendorong beliau untuk menuliskan rumusan Pancasila. Paling tidak seperti itu sebab bagi saya lingkungan turut mempengaruhi persepsi seseorang dalam menulis.
Jika benar seperti itu maka menjadi kebanggaan tersendiri bagi warga NTT untuk tetap mempertahankan nilai-nilai Pancasilais yang sudah ada bahkan sebelum Pancasila itu ada. Mungkin saja sebagian atau semua nilai-nilai Pancasila itu sudah dipelajari bapak Ir Soekarno sebelum datang ke NTT, tapi sebagai semesta tempat beliau merumuskan Pancasila, NTT tetap memiliki peranan dan andil untuk itu.
Sebagaimana setiap karya memiliki proses kreatif yang dipengaruhi juga oleh lingkungan tempat hidup penulisnya. Sebagaimana Pramudya Ananta Toer menulis tetralogi pulau buru buku pertama bumi manusia memakai setting tempat Surabaya karena memang dia pernah sekolah di Surabaya.
Untuk itu ketika bapak Ir Soekarno merumuskan Pancasila paling tidak NTT sebagai semesta saat beliau menulis turut memberikan andil.
Tulisan ini hanya sedikit permenungan. Jika ada tulisan lain yang lebih akurat maka tulisan ini hanya sebagai sayap baginya.
Sekian.
Note: This picture taken from https://ppid.nttprov.go.id/tentang-provinsi-ntt/
#Selamat_Hari_Pancasila
Oebufu, 01 Juni 2020
Oleh Krismanto Atamou
Syalom.
Sabtu, 30 Mei 2020
Mencuri Barang Umum (Privatisasi Barang Publik)
Pagi ini saat mengantar anak ke rumah sakit untuk berobat ada sesuatu yang unik dalam pemandangan saya. Pada botol sanitizer tertera tulisan peringatan untuk tidak mencuri.
"Silakan curi nanti Tuhan yang atur lu (kamu) deng (dengan) lu pu (punya) keluarga."
Kalimat ini sebagai peringatan dan bisa sekalian sebagai ancaman terhadap pelaku pencurian. Peringatan dan ancaman tentu tidak datang begitu saja. Pasti ada penyebabnya.
Ada kemungkinan sebelumnya sudah terjadi kasus pencurian botol sanitizer. Ada kemungkinan lagi, kasus pencurian tersebut terjadi berulang-ulang kali sehingga membuat manajemen atau security rumah sakit murka.
Terlihat seolah memang sepele. Toh hanya sebuah botol sanitizer. Berapa harganya? Mungkin mahal, mungkin juga tidak.
Namun terlepas dari permasalahan harga ada permasalahan nilai karena fungsinya. Dalam keadaan darurat Pandemi Corona seperti sekarang, bahkan setetes cairan sanitizer sangat berfungsi melawan penyebaran virus selain dengan menjaga jarak dan menggunakan APD.
Dapat dibayangkan ketika kita berada di ruang publik, apalagi tanpa menggunakan APD, lalu tanpa sanitizer, maka resiko penularan akan semakin tinggi.
Ada kemungkinan, di akhirat kelak, sang pencuri tidak hanya dikenakan pasal pencurian, tetapi juga pasal mengakibatkan kematian orang lain (secara tidak langsung) karena memudahkan penyebaran Pandemi sebab perbuatannya.
Tadi saya sengaja mengambil judul yang umum yakni Mencuri Barang Umum agar menjadi refleksi tersendiri. Bahwa dengan memprivatisasi barang publik akan memiliki dampak ikutan yang luar biasa rusaknya, termasuk kematian orang lain secara sia-sia.
Tulisan ini terkesan saya seorang penganut fatalisme, atau juga terlalu hiperbola, melebih-lebihkan sesuatu. Tapi memang tidak menutup kemungkinan akan terjadi seperti itu.
Silakan protes, kritik, atau memberikan saran. Kalau tidak pun tidak masalah 😀.
Langganan:
Postingan (Atom)