Sabtu, 11 Januari 2020

Menikmati Kehadiran Tuhan


Oleh : Krismanto Atamou

Burung-burung bernyanyi merdu. Burung pipit bercicit-cicit di dahan pepohonan nan rindang sembari mata dan kepala digerakkan lincah mengamati serangga dan biji-bijian makanannya. Burung tekukur sesekali bersuara seakan menyaingi kokok ayam di dalam kandang. 
Semilir angin menyapu dahan, ranting, dan dedaunan yang dilewatinya. Angin itu juga melewati lorong-lorong bangunan dan menghasilkan deru bertalu-talu. Nyaris sepi tanpa kendaraan bermotor atau orang yang lalu lalang. Sungguh suasana desa nan asri.
Detakan jarum jam terus berpacu seiring berlalunya waktu. Jika saatnya tiba, bunyi detakan jarum jam itu berganti suara pendulum jam yang berbunyi sekian kali sesuai jumlah jam saat itu. Sesudah bunyi itu kemudian secara otomatis diikuti suara orang yang berbicara; waktu sekarang menunjukkan pukul dua belas, misalnya.
Peringatan waktu itu seakan dorongan untuk terus beraktivitas seiring waktu. Terkadang saat tidurku pun terganggu dengan bunyi jam milik tetangga tersebut. Meski bermanfaat sebagai pengingat waktu, namun disisi lain sangat mengganggu kepulasan orang yang sedang tertidur, apalagi sedang bermimpi indah.
Tak terasa, jam demi jam telah berganti. Demikian juga hari, minggu, bulan, dan tahun terus berganti. Masa remajaku telah lewat. Aku telah menjadi seorang pemuda tangguh. Beban hidup mulai terasa saat pertama kali merantau jauh dari kedua orang tua. 
Meski setiap bulan aku mendapatkan kiriman dari orang tua untuk bekal menimba ilmu di Kota Karang, aku harus berhemat. Kiriman orang tua itu tidak akan cukup jika aku boros. Angggaran makan dan minum, anggaran tugas kuliah, anggaran transportasi, dan anggaran untuk komunikasi. Semuanya perlu diperhitungkan. Aku tak mau ceroboh.
Kampusku ini terpaksa pindah dan membangun gedung baru di pinggir kota yang lebih tepat disebut desa karena gedung kontrakannya di kota akan habis masa kontraknya. Tergopoh-gopoh banyak mahasiswa mencari penginapan di sekitar kampus untuk menghemat uang transport, termasuk aku.
Masyarakat sekitar kampus juga tergopoh-gopoh mengubah desain rumahnya agar bisa dibangun kos-kosan atau dialihfungsikan menjadi kos-kosan mahasiswa. Zaman mulai berubah. Mahasiswa yang punya kendaraan pribadi santai-santai saja, hanya perlu mengubah rute perjalanan sebelumnya menuju kampus.
Ujian semester satu telah selesai. Hasilnya, aku mendapat IPK 1,10. Suatu prestasi yang menyesakkan dada. Ternyata aku tidak sendiri, seorang teman, Asyor namanya, mendapat IPK di bawahku. Bukannya sedih, ia justru tertawa karena mendapat teman senasib sepenanggungan. Aku tahu, di balik tawanya ada kesedihan yang mendalam.
Keterpurukan itu menjadi cambuk bagiku, juga menjadi awal keakraban kami seterusnya. Kami berdua belajar bersama, mengungkapkan kegelisahan bersama, dan berbagi kehidupan susah maupun senang. Di sisi lain, aku mulai mengingat Tuhan dan berupaya mengandalkannya sebagai Sang Penolong dan Sahabat Sejati.
Mengawali semester berikut, aku membawa semua mata kuliah yang kuprogram dalam doa kepada Tuhan. Aku tahu, Tuhan akan bekerja dengan tidak kelihatan untuk menyertai segala usahaku yang kasat mata.
Aku serius belajar, mengerjakan tugas kuliah, berupaya selalu hadir kuliah, dan akhirnya mengikuti ujian semester dua. Hasilnya, IPK-ku hanya meningkat sedikit saja menjadi 1,80. Temanku, Asyor, IPK-nya 1,50. Ya, paling tidak aku ada perbaikan yang bisa dibanggakan.
“Kita harus berusaha lagi,” kata Asyor saat kami berjalan kaki pulang dari kampus sambil mencari cendawan putih untuk dimasak bersama mi instan. Lumayan untuk menjadi lauk gratis bagi anak kos.
Tek berpuas diri dengan hasil IPK semester dua, aku berupaya lebih sungguh-sungguh berusaha dan berdoa lagi di semester tiga. Hasilnya semakin membaik hingga aku memasuki semester 11 dan diwisuda dengan IPK 3,21.
Sebuah acara syukur sederhana dibuat di halaman rumah kos. Orang tuaku datang, kami harus berdesak-desakan di dalam kamar berukuran 3 x 3 meter itu. Beberapa keluarga turut datang memberi selamat sebelum dan sesudah acara syukuran, kami lebih berdesak-desakan lagi.
Saat berdesak-desakan itu membuatku mengingat sebuah teori desain rumah. Teori itu berkata bahwa jika sebuah rumah didesain dengan sangat luas sehingga mengurangi akses kontak sosial dan fisik para peghuni rumah, lebih memprivatisasi ruangan individu setiap orang, maka sisi sosial penghuni akan berkurang.
Sebaliknya, jika sebuah rumah itu sangat sempit sehingga mengurangi privatisasi ruangan, maka akan ada banyak kontak fisik dan sosial yang terjadi. Hasilnya, penghuni rumah akan merasa selalu terhubung dengan setiap penghuni lain dan lahirlah kedekatan sosial dari kontak yang hampir selalu terjadi sepanjang hari. Dan itulah yang terjadi di ruangan kos berukuran sembilan meter persegi.
Ayah dan ibu angkatku semasa kecil di pedalaman pulau Kalimantan datang sehari sebelum aku diwisuda. Aku sungguh bahagia karena pertemuan itu terjadi setelah belasan tahun tidak bertemu. Semalam kami tidur berdesak-desakan.
Melepas kangen, kedua ayah dan kedua ibu meriwayatkan kejayaan masa lalunya hingga tengah malam. Tidak puas, pagi-pagi sekali keduanya sudah bangun dan menyambung riwayat masa lalu. 
Cerita tentang persahabatan saat bertugas sebagai guru INPRES di pedalaman hutan Borneo merupakan keseruan bagi dua orang ayah dan ibuku. Sesekali mereka menyinggung soal makan makanan orang Kalimantan semisal tempoyak dan sayur pekasem. 
“Vian, kau masih ingat saat itu dengan Bapak Besar ke sungai dan membuang jala  malam hari?” tanya ayah angkatku. Ia aku panggil Bapak Besar karena umurnya lebih tua dari ayah kandungku.
“Ya, aku ingat, Bapak. Sekali membuang jala saja hasilnya seember kecil penuh ikan. Memang alam Kalimantan sangat subur untuk menjadi rumah bagi hewan dan tumbuhan beraneka ragam hidup, tumbuh, dan berkembangbiak. Entah sekarang.”
“Kau ingat saat Mama Besar cari kau di sungai kala itu, Vian?” tanya Mama Besarku.
“Aku ingat. Mama besar selalu larang aku berenang di sungai. Takutnya aku hanyut terbawa arus atau diterkam oleh buaya lapar. Kadang Mama Besar terpaksa memukulku dengan rotan kecil di betis agar tobat berenang sendiri di sungai berlubuk itu.”
“Aku ingat saat orang Melayu menyuruh kita mengambil babi yang terjerat di tali jeratan mereka. Mereka sebenarnya memasang jerat untuk menjerat rusa. Saat seperti itu kita akan makan daging babi sepuasnya,” kata ibuku mengenang.
Keseruan cerita romantisme masa lalu itu harus berhenti karena aku akan berangkat ke tempat wisuda didampingi ayah dan ibu. Ayah dan ibu angkatku pamit dengan janji untuk bertemu lagi nanti.
Di sepanjang perjalanan ke tempat wisuda kurenungi hidup ini. Cukup banyak pengalaman hidup yang kualami. Terkadang aku harus bersedih karena kegagalan. Kadang juga aku tertawa karena sukacita yang melimpah.
Dari semua peristiwa hidup ini aku tahu, ada Tuhan yang telah hadir dan memberi pertolongan. Tanpa kehadiran Tuhan, apalah artinya hidup ini. Lantunan lagu berjudul Allah Peduli tiba-tiba terngiang di kepala, aku ikut menyanyikannya. “Allah mengerti, Allah peduli segala persoalan yang kita hadapi. Tak akan pernah dibiarkan-Nya kubergumul sendiri sebab Allah mengerti.”
*Dipersembahkan kepada Bpk. Joni Eliad Lalay selaku Bapak Rohani dan Bpk. Agus Sanam sekeluarga.

Tidak ada komentar: